Sabtu, 08 Mei 2010

Cerpen Tentang Benturan Nilai Tradisional dan Nilai Modern

Tangisan Ibu

Saat ini aku sudah berumur 22 tahun. Aku tinggal dengan temanku, Rei di sebuah apartemen di Jakarta. Sebenarnya, aku lahir di Yogyakarta, tetapi karena ingin kuliah di Jakarta, aku pun pindah. Ayahku sudah meninggal 2 tahun yang lalu. Ibuku tinggal di kampung dan bekerja untuk membiayai hidupnya sendiri.

Saat liburan, aku diminta ibuku untuk pulang ke kampung. Saat mendengar hal itu, aku sangat kaget. Padahal, aku sudah mempunyai rencana untuk pergi bersama teman-teman, jalan-jalan dan nonton. "Gagal deh semua yang telah kurencanakan," pikirku. Apalagi, saat aku mendengar kata "kampung", aku jadi memikirkan tempat kotor dan dekil yang dulu pernah aku tinggali. Dengan terpaksa, aku menyetujui hal tersebut dan akhirnya pergi mengunjungi ibu.

Dalam perjalanan ke Yogya, bus yang aku naiki bergerak dengan sanagt lamban. Sehingga perjalanan terasa sangat panjang dan membosankan. Ditambah lagi, selama perjalanan, ada seorang nenek yang terjatuh, sehingga suasana di bus semakin ribut dan mengganggu. Kemudian, ada seorang pemuda yang umurnya kira-kira sama denganku menolong nenek tersebut. "Sok sekali orang itu, ngapain sih sok bantu-bantu orang lain," dalam benakku.

Akhirnya setelah berjam-jam duduk di bus, lega rasanya saat sampai di tempat tujuan. Bertahu-tahun tidak melihat kampung sendiri, kangen juga rasanya. Saat aku samapi ke rumah ibuku, ibuku langsung menyambut dan memelukku. Karena malu, aku langsung menjauhkan diri dan sekilas aku melihat wjah ibuku yang sedih, namun aku tidak begitu peduli. Sorenya, aku pergi mengelilingi daerah di perkampungan bersama dengan ibuku. Ibuku pun berkata, "Nak, kamu ingat tidak dulu kamu sering bermain dengan teman-temanmu di daerah ini?" Aku pun hanya diam dan tidak menjawab.

"Selamat sore Pak RT", kata ibuku kepada pak RT yang kebetulan lewat. "Nak, ayo sapa Pak RT, jangan tidak sopan seperti itu dong." Dengan muka cemberut, aku pun berkata, "Selamat sore." Aku paling tidak suka disuruh-suruh seperti itu. Setelah kira-kira satu jam berkeliling, kami pun pulang ke rumah.

Di rumah, karena bosan, aku pun mengambil iPodku dan mulai mendengarkannya. Tiba-tiba, ibuku mmintaku untuk membantunya cuci piring. "Nak, tolong bantu ibu cuci piring!" Aku pun akhirnya berkata, "Nanti saja, Bu! Aku sekarang lelah. Aku mau beristirahat." Aku melihat ibuku sedih mendengar ucapanku. Namun, aku tidak peduli karena aku pun sudah lelah. Ditambah lagi, aku tidak dapat menghubungi teman-temanku di Jakarta karena signal handphoneku yang buruk. Akhirnya aku mengeluarkan iPodku dan mulai mendengarkan lagu.

Seminggu berada di kampung, terasa sangat membosankan untukku. Aku tidak melakukan apa-apa. Setiap hari hanya aku habiskan dengan bermalas-malasan. Hingga, pada malam terakhir, aku mendengar suara tangisan. Karena bingung aku pun mencari sumber tangisan tersebut. Setelah mencari-cari, ternyata ibuku sedang menangis di kamarnya. Mendengar tangisan ibu, penyesalan mulai muncul dalam hatiku. Aku merasa kalau aku sangat tidak tahu diri; aku tidak menemani ibu dengan baik.

Esoknya saat aku mau beranjak pulang, seperti biasa ibu langsung memelukku. Namun, kali ini aku pun membalas pelukannya dan meminta maaf. Lalu, ibuku berpesan, "Nak, jaga diri kamu baik-baik ya dan terapkanlah sopan santun yang lebih. Sering-sering main ke kampung ya dan jenguk ibu?" Aku hanya mengangguk dan berpamitan, lalu beranjak pergi. Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, air mataku pun menetes.